Senin, 21 Mei 2012

Jangan Puas dengan Menjadi "Rata-rata"




Olah pribadi

Kita sering melihat banyak orang mengambil posisi “tengah” alias posisi “aman”. Mereka tidak berusaha memperjuangkan ide dan pendapatnya kuat-kuat, namun lebih memilih untuk menyenangkan semua pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang puas dengan menjadi “rata-rata”, berorientasi pada penilaian pihak eksternal, sehingga tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik. Padahal, seorang ahli mengatakan: “Mediocrity isn't a quest to be pursued “. Kita tidak akan "jadi apa-apa" atau menciptakan apa-apa, bila selalu berada di posisi “so-so” atau merasa diri “sekadar” pegawai, “sekadar” manager, atau “sekadar” orang kecil.
Kita tentu kagum bila mendengar ada petani di kampung yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga betul-betul sukses. Orang seperti ini, tidak melihat dirinya “sekadar” petani, namun ia bisa melihat masa depan sampai ke titik yang paling optimal.
Apapun posisi kita dalam organisasi, kita sesungguhnya punya peran penting dan perlu bangga dengan peran yang kita jalankan. Seorang arsitek, planner, desainer, sekretaris, dan trainer, punya peran untuk menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih efisien, baik itu ide, buku, atau sistem yang bisa mempermudah hidup dan pekerjaannya. Menjalankan peran dengan bangga dan “all out”-lah yang akan menciptakan happiness dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita.

Ada individu yang kerap merasa bahwa ia sudah mengembangkan diri dan tinggal menjalankan hidup saja. Padahal, pribadi itu ibarat pensil. Pensil yang baik akan bisa digunakan untuk menulis, namun sebentar-sebentar perlu diasah. Pensil yang tumpul tidak bisa menulis dengan baik, dan menjadi usang dan ditinggalkan bila tidak dipertajam.
Kita pun, ibarat pensil, senantiasa perlu belajar mengasah ketrampilan dalam hubungan sosial, menebalkan keyakinan, dan tidak boleh puas dengan keadaan yang sudah dicapai. Individu yang mudah merasa puas, akan cepat menunjukkan sikap dirinya selalu benar, “sok tahu” tanpa rasa ingin memperbaiki diri.
Sebaliknya, orang yang berorientasi pada kualitas hidup yang lebih baik, akan berusaha memperbaiki tutur katanya, senantiasa mawas diri untuk memperbaiki hubungan baik, dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dengan rendah hati tetapi progresif. Kualitas hidup tidak bisa berhenti pada satu tingkat tertentu, namun perlu terus diupayakan dari waktu ke waktu, sampai akhir hayat kita.

Good living = good work
Kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup tanpa meluangkan waktu untuk melakukan evaluasi. Saringan evaluasi pertama adalah mengecek: "Apakah hal yang kita kerjakan ini bisa meninggalkan value di masa depan?" Saringan kedua adalah menguji: “Apakah apa yang kita lakukan saat ini sudah optimal kualitasnya dan bisa dites ‘excellence’-nya?” Saringan ketiga adalah memahami: “Apakah hal yang kita jalani ini memang  berasal dari diri kita dan mengangkat harkat kita sebagai manusia?”
Bila kita menyaring tindakan kita dengan ketiga saringan tadi, maka dengan sendirinya integritas yang sekarang didengung-dengungkan orang pun akan terjaga.

Sebagai manusia yang diberkahi akal budi, sangat terbuka kesempatan bagi kita untuk mengoptimalkan kualitas diri sebagai mahluk hidup. Kita tidak perlu mengakhiri hidup ini dengan penyesalan, kalau saja kita tidak henti-hentinya mendera diri kita untuk selalu lebih baik, lebih cepat, lebih hemat, lebih berintegritas, dan lebih bermartabat.
Kitalah yang memilih untuk melakukan hal yang benar-benar kita minati. Kita bisa memilih hobi dan passion kita, sekaligus membuat prioritas. Kitalah yang menentukannya, bukan orang lain. Seperti yang dikatakan penyair Antonio Machado: "Walker, there is no path; the path is made by walking."
Dengan menjalankan good living kita pasti akan melakukan good work juga.

Tiket Kereta Api Lebaran Sudah Habis?

Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno, menginformasikan bahwa tiket kereta api kelas bisnis dan eksekutif untuk keberangkatan dari Jakarta pada masa Lebaran tanggal 16-17 Agustus 2012 sudah habis terjual. "Semua tiket kereta api Lebaran tanggal 16-17 Agustus sudah habis dalam waktu 30 menit antara jam 00.00 sampai dengan 07.00," sebut Djoko.

Ia mengaku mendapatkan informasi tersebut dari internal PT Kereta Api Indonesia. Djoko pun menduga tiket yang terjual habis tersebut dibeli oleh para agen perjalanan. "Ya karena sistem online mungkin agen-agen sudah beli dulu," sambung dia.

Sementara itu, Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyono, yang dihubungi secara terpisah, membenarkan penjualan tiket yang laku keras dari Jakarta ke daerah. Namun, ia tidak bisa memberikan keterangan detil apakah tiket pada tanggal 16-17 Agustus mendatang sudah habis terjual.

"Angkutan Lebaran kan trennya mudik dari kota ke daerah, jadi biasanya tiket yang terjual dari Jakarta dan kota-kota besar lain ke kota di daerah. Dengan demikian yang laku keras adalah tiket dari Jakarta ke daerah. Arah sebaliknya masih banyak," sebut Sugeng.

Template by:

Free Blog Templates